Kamis, 07 Januari 2010

TIDAK SEMUANYA ANAK JALANAN MALAS

Suatu hari aku bermobil dengan beberapa teman. Di hampir setiap perempatan yang dilewati selalu ada sekumpulan orang. Mereka itu ngamen, ngemis, bawa bulu-bulu untuk membersihkan kaca mobil, jual koran, dsb. Kayaknya itu sudah menjadi pemandangan biasa di jalanan.

Di salah satu perempatan, ketika berhenti karena lampu lagi merah, seorang teman tiba-tiba berkomentar,

“Orang-orang itu malas banget. Mestinya mereka bisa bekerja dengan lumrah, bukannya malas-malasan ngemis dan nodongin orang.”

Komentar yang juga lumrah. Mereka itu tampak sehat walaupun dekil. Spontan aku turunkan kaca mobil. Kupanggil salah satu anak yang lagi mendekat membawa ecek-ecek dari tutup botol.

“Bang, temenku ini mau omong,” panggilku.

Temanku kaget. Pandangan melotot mengandung ancaman diarahkan kepadaku. Tetapi, dia mengulang celutukannya tadi. Dengan kalimat yang lebih sopan, tentunya. Si anak remaja itu dengan tenang mengulurkan tangan tertadah ke dalam mobil dan berkata,

“Kalau Oom bisa memberi saya pekerjaan…apa pun…cabutin rumput, ngurusin sampah, bersihin wc…akan saya kerjakan, Oom.”

Di depan, lampu hijau menyala. Tidak ada waktu lagi buat ngobrol, diskusi, atau pun rapat. Kuletakkan dua logam limaratusan di tangannya sembari pamit dan cabut.

Sambil mengemudi, kurasakan kata-kata si remaja tadi menghantami benakku. Betapa sering aku sendiri menggeneralisasi orang-orang ini. Berada di jalanan berarti malas, tidak mau cari pekerjaan yang layak, tidak mau kerja keras, memilih cara yang gampang untuk cari duit, dst. Vonis yang kayaknya terlalu pagi. Bisa jadi dari antara mereka memang ada yang seperti itu. Tapi, mestinya ada juga orang-orang yang sudah berusaha – dengan cara mereka – dan selalu ketemu jalan buntu. Pasti ada pula yang memang sungguh terdesak dan jalanan menjadi solusi.

Aku jadi ingat anak-anakku. Kebanyakan dari mereka berada di jalanan bukan karena malas. Ada yang lari karena tidak diakui sebagai anak oleh orang tua. Ada yang orang tuanya terlalu miskin untuk menghidupi terlalu banyak anak. Beberapa sudah tidak punya orang tua. Mereka bekerja di jalanan agar tetap bisa makan. Syukur kalau masih bisa sekolah dari hasil ngamen. Aku kenal dua-tiga anak yang keluar dari sekolah dan ngamen untuk biaya sekolah adik-adik mereka. Jalanan menjadi solusi bagi orang-orang ini. Tetapi, semua fakta itu ternyata belum mempertobatkan persepsiku tentang hidup di jalanan.

KITA INI BANGSA YANG LUPA ATAU ABAI..?


Tragedi gempa bumi yang terus menerus mendera bangsa ini, ternyata tidak memberikan kesadaran untuk melakukan pembelajaran dalam penanganannya. Meskipun Obama, Presiden Amerika cukup teranga-terangan mengatakan bangsa ini bangsa yang kuat, tetapi tidak kuat dalam soal ingatan.

Persoalan-persoalan yang muncul dalam setiap kali terjadi tragedi kemanusiaan, seperti gempa, selalu saja tetap dan tak juga beranjak. Sebut saja, Wali Kota Padang, mengatakan sumbangan tersedia cukup banyak, tetapi terkendala dengan soal distribusi. Sementara pada kabar yang lain, tidak sedikit orang yang belum terjangkau bantuan sama sekali. Di sisi lain, pesawat berbadan lebar yang membawa bantuan pangan, kendaraan dan relawan justru tertahan tak bisa masuk ke Sumatra Barat.

Ironisnya, hampir seluruh institusi di negeri ini beramai-ramai membuka rekeningnya, menyodorkan alamatnya, untuk menerima bantuan langsung dari masyarakat. Bahkan salah satu stasiun TV ada yang melakukannya dengan program live-nya.

Kita menjadi khawatir, berbagai mobilisasi sumbangan dari masyarakat ternyata hanya dilakukan dengan gagasan-gagasan dan strategi pengumpulannya. Sementara manajemen distribusi tidak dipikirkan secara serius. Jika benar ini terjadi, sungguh para pengumpul sumbangan sedang melakukan pengabaian terhadap rasa kemanusian dan solidaritas sesama antar warga negara di negeri ini dan bahkan negara-negara asing lainnya.

Kenyataan ini menunjukkan betapa kapasitas pengelolaan gempa di Indonesia sama sekali tidak pernah mendapatkan perhatian cukup serius. Berbagai bantuan untuk melakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia tidak menghasilkan pengetahuan dan ketrampilan yang menggembirakan.

Kita pantas untuk mengakui diri sebagai bangsa yang abai terhadap persoalan-persoalan di negeri ini. Tentu tidak saja gempa tetapi juga soal korupsi, politik dagang sapi, dan fenomena sosial lain, yang terkadang membuat kita menjadi kehilangan kepercayaan terhadap kesungguhan penguasa di negeri ini menjalankan mandat rakyatnya.

Kita juga pantas untuk mengakui diri sebagai bangsa pelupadan beringatan pendek. Sehingga, pelajaran dari gempa di Tasikmalaya, tak juga bisa menjadi pegangan dalam menangani gempa di Sumatra Barat. Kita selalu gagap dan bahkan menunjukkan ketidakpastian. Sebut saja, soal teknis, pembongkaran reruntuhan diperkirakan membutuhkan tidak kurang dari 50 armada. Ternyata, setelah 3 hari guncangan gempa, baru hanya tersedia 20 armada.

Mengakui merupakan jalan penting untuk kita membenahi diri. Mengembangkan dengan penuh kesadaran, negeri ini, saat ini, sungguh-sungguh rawan gempa, banjir, longsor ancaman alam yang lain. Sungguh kita menantikan para penguasa yang memiliki sensitivitas terhadap persoalan seperti ini.

Selasa, 05 Januari 2010

FENOMENA ANAK JALANAN

"Jreng... jreng... 100 pak..."
"Plok... plok... cepek mas..."

Fenomena diatas sering kita jumpai di jalan-jalan... di perempatan jalan... di pemberhentian lampu lalu lintas. Kita sering menyebut mereka sebagai pengamen atau anak jalanan. Apakah sebenarnya definisi anak jalanan?

Menurut departemen sosial, seseorang akan dikatakan anak jalanan bila:

1. Berumur dibawah 18 tahun
2. Berada dijalan lebih dari 6 jam sehari, 6 hari seminggu

Apa yang kita lihat sekarang dijalan-jalan? Apakah sudah memenuhi kriteria sebagai anak jalanan?

Ada berapa type anak jalanan?
Anak-anak jalanan mempunyai type:

1. Anak jalanan yang masih memiliki dan tinggal dengan orang tua.
2. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang tua.
3. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan keluarga.
4. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarga.

Mengapa mereka tetap menjadi anak jalanan?
Banyak penampungan, rumah singgah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mengurus masalah anak jalanan, tapi anak-anak jalanan makin banyak dan malah berkembang semakin pesat. Yang sudah di sekolahkan malah keluar dari sekolahnya serta kembali menjadi pengamen dan peminta-minta. Menurut teori reinforcement: "sesuatu yang menyenangkan akan selalu diulang, sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari". Mereka menganggap sekolah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan (punishment) dan dengan mengamen / meminta-minta di jalan adalah sesuatu yang menyenangkan (reward) karena akan mendapatkan banyak uang untuk bersenang-senang. Apalagi sekarang ini menjadi anak jalanan adalah sesuatu yang "TOP", mereka diundang dan dapat bersalaman dengan presiden pada hari kemerdekaan / hari anak-anak / hari khusus lainnya, itu adalah sesuatu reinforcement yang hebat.

Bagaimanakah anak-anak jalanan itu menurut teori psikoanalisis?
Menurut teori Sigmund Freud, manusia memiliki Id, Ego dan Superego. Id adalah keinginan / hasrat badaniah manusia, misalnya ingin makan, ingin minum, hasrat sex, dll. Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada diluar dirinya, mengatur kepribadian, tempat kedudukan intelegensi dan rasionalitas. Superego merupakan kode moral seseorang, yang memberikan larangan-larangan bila dianggap tidak benar. Manusia dianggap ideal bila memiliki Id, Ego dan Superego yang sama besar, yang seimbang. Anak-anak jalanan memiliki Id yang lebih besar dari pada Superego. Ini terbentuk karena tidak adanya didikan, sopan santun dan tata krama dari orang tua. Seorang anak akan dimarahi dan diperingati oleh orang tua mereka bila makan sambil jalan sehingga superego mereka akan terbentuk (bahwa makan sambil jalan itu adalah sesuatu yang tidak benar) tetapi seorang anak jalanan tidak pernah ada yang memperingati mereka bila mereka kencing sambil berjalan sekalipun.

Dulu sering kita melihat anak-anak jalanan mencoret mobil bila tidak diberi uang, kenapa mereka mempunyai keberanian seperti itu?
Menurut teori share responsibility, seseorang akan lebih berani melakukan sesuatu bila bersama-sama dengan kelompoknya. Seorang cewek tidak akan berani melakukan sesuatu bila ada cowok yang lewat, tapi bila dia berada didalam suatu kelompok, dia akan berani bersiul dan mungkin akan berseru: "Cowok... godain kita dong.." Bila seseorang berada didalam kelompok, rasa tanggung jawab, mereka pikul bersama-sama.

Bagaimana kita melihat fenomena anak jalanan sekarang ini? Bagaimana penanggulangannya? Apakah itu urusan pemerintah? Ataukah kita sebagai masyarakat juga ikut bertanggung jawab dalam masalah ini?

MEREKA BELUM MERDEKA




Bertahun-tahun penghelatan bangsa ini, namun anak jalanan tetap menjadi anak tiri negara. Padahal mereka juga anak bangsa yang punya kesempatan sama dengan anak-anak bangsa lain untuk mengenyam pendidikan layak, penghidupan yang layak serta memperoleh akses publik yang memadai dari pemerintah. Namun mereka yang selalu disebut dalam UUD 1945 sebagai fakir miskin atau anak-anak terlantar yang harus disantuni negara justru menjadi anak bangsa yang dilupakan negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah baik pada level nasional maupun level daerah, tidak pernah jelas tentang bagaimana program untuk menyelamatkan anak jalanan sebagai bagian dari aset bangsa. Inilah realitas parodi yang dipertotonkan dibangsa ini. Sebagian besar program pemerintah lebih mengedepankan sensasi ketimbang esensi. Akhirnya tak pernah ada solusi permanen untuk penyelesaian kondisi atau nasib anak jalanan. Gerakan sosial yang dilakukan oleh individu atau komunitas untuk membantu anak jalanan, saya pikir perlu direspon secara positif serta dibutuhkan dukungan dari semua pihak dalam bentuk apapun. Meminjam filosofi Cina : Berhentilah mengutuki kegelapan tapi mari menyalakan lilin.

MENGAPA MEREKA SELALU MENJADI KAMBING HITAM...?


Banyak "oknum" yang mengatas namakan Anak Jalanan.
Ada Copet ketangkep, mereka bilang orang tersebut adalah Anak Jalanan.
Ada Penodong di Traffic Light, mereka bilang itu ulah Anak Jalanan.
Ada orang mabuk-mabukan dan membuat keributan dijalan, mereka bilang "Anak Jalanan kerjaannya mabuk dan bikin onar saja".

Mengapa selalu Anak Jalanan yang di kambing hitamkan?
Apa mereka tidak tahu, tidak semua orang yg berada dan tinggal di jalanan itu adalah Anak Jalanan, tidak semua...

Anak Jalanan adalah seorang manusia yang jiwanya terpanggil untuk menjalani kehidupan dijalanan.
Anak Jalanan ada seorang manusia yang merasa jenuh menghadapi fana-nya dunia ini.
Anak Jalanan ada seorang manusia yang menginginkan kenyataan dalam hidup ini.

Itulah realita jalanan . .

ANAK JALANAN = ANAK TIRI BANGSA

Anak jalanan. permasalahan yang tidak pernah rampung di kerjakan oleh pemeritahan, pemerintahan seperti bergerak setengah-setengah, tidak ada langkah yang mengarah terhadap kemajuan anak jalanan itu sendiri, malahan sekarang ini di kota-kota di indonesia banyak yang sudah memberlakukan perda anti gepeng, melihat dari sudut pandang pemberdayaan. memang pada dasarnya anak-anak yang Jadi pengemis di Jalan yang sering disebut dengan anak Jalanan, sangat tidak mendidik, asumsi sederhana adanya perda tersebut, adalah untuk mengurangi tindak kriminal pada anak-anak, produktivitas dan penunjangan pendidikan. Namun teknis penerapan di lapangan itu jauh dari asumsi yang terbangun, pada kenyataannya perda tersebut tidak cocok dan tidak memihak.

Seandainya pemerintah kita, membuat perda sekaligus melounching sebuah program pemberdayaan yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga non pemerintah untuk jadi mitra, dan dievaluasi dengan maksimal serta ditunjang dengan program yang inovatif mencakup pendidikan, keterampilan, kesehatan, keagamaan dLL. tentunya kan menjadi sebuah program penyelamatan generasi penerus bangsa.


Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta berencana memasang papan imbauan kepada masyarakat agar tidak memberikan uang kepada anak jalanan di 16 titik perempatan jalan yang ada di Kota Yogyakarta.

"Tahun lalu sebenarnya imbauan agar tidak memberikan uang kepada anak jalanan sudah ada, tetapi baru dalam bentuk tulisan di spanduk, dan tahun ini diganti dengan papan permanen dengan tiang dari besi," kata Kepala Bidang Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta Siwi Subekty Astuti di Yogyakarta, Senin  

Menurut dia, alasan pemasangan papan imbauan untuk tidak memberikan uang kepada anak jalanan tersebut demi keselamatan anak jalanan itu sendiri. Sejatinya, pemberian uang adalah tindakan yang tidak mendidik.

Dengan adanya papan imbauan tersebut, masyarakat kemudian diharapkan untuk mengalihkan sumbangan ke lembaga-lembaga sosial yang ada.

Beberapa perempatan jalan yang akan dipasangi dengan papan imbauan tersebut di antaranya adalah perempatan Gondomanan di empat sudut, Pingit (empat sudut), Wirobrajan (dua sudut), SGM (dua sudut), Abu Bakar Ali (dua sudut), dan Pojok Benteng Kulon (dua sudut).

Siwi menyatakan, tidak semua sudut perempatan jalan dapat dipasangi papan imbauan karena ada beberapa titik perempatan yang sudah penuh dengan papan reklame atau terhalang rumah yang sudah menjorok ke jalan.

Papan imbauan tersebut rencananya akan divisualisasikan melalui gambar seorang ibu dalam mobil yang tengah memberikan uang kepada anak jalanan. Dalam gambar yang diambil dari foto asli kemudian dikaburkan itu juga akan dilengkapi dengan tulisan yang berbunyi "Peduli Tidak Sama dengan Memberi Uang. Salurkan Uang Receh Anda pada Organisasi Sosial dan Keagaaman. "Di dalam gambar juga akan ditambah dengan tanda silang merah, yang berarti bahwa tindakan itu seharusnya tidak dilakukan," katanya.

Siwi menyatakan, jumlah perempatan yang akan dipasangi papan imbauan akan bertambah dan akan dipikirkan mengenai sanksi kepada masyarakat apabila kedapatan memberikan uang kepada anak jalanan. "Kami akan mengundang pihak kecamatan untuk membahasnya. Persoalan anak jalanan ini akan coba ditangani melalui usaha berbasis masyarakat," ujar Siwi.

Menurut dia, dalam upaya menangani permasalahan anak jalanan berbasis masyarakat, telah digulirkan sejumlah dana, yaitu Rp 30 juta untuk tingkat Kota Yogyakarta dan total Rp 65 juta untuk 14 kecamatan. "Kami berharap tidak ada benturan dari masyarakat tentang penanganan anak jalanan ini sehingga program-program selanjutnya bisa dilakukan," katanya.

Dinsosnakertrans juga akan melakukan identifikasi masalah anak jalanan dengan melakukan kuisioner yang diharapkan dapat memberi gambaran kondisi yang dialami oleh anak jalanan sehari-hari. "Setelah proses identifikasi, baru kami bisa mengetahui cara penanganannya melalui upaya preventif selain semi represif," katanya.


Minggu, 03 Januari 2010

KEHIDUPAN MALAM



Kehidupan malam, mungkin kita langsung beranggapan negatif, tetapi salah, kehidupan malam di kota pelajar yogyakarta, tidak seperti kehidupan malam di kota-kota besar lainnya, di sini kita dapat menikmati banyak tempat-tempat yang menyuguhkan keindahan kota yogyakarta di malam hari, selain itu juga banyak tempat-tempat yang menyajikan wisata kuliner, seperti di kawasan bantaran kali code yang lebih di kenal dengan pocian, di sini kita bisa menikmati sajian makanan khas angkringan, jajanan di sini cukup untuk kantong para mahasiswa, maka dari itu di sini selalu di penuhi oleh kalangan pelajar dalam menghabiskan malam. pemandangan bagus, jajanan murah, selain itu juga di hibur oleh para seniman-seniman jalanan yang dapat membawakan lagu sesuai keingin kita.

kalau hanya mencari tempat ngumpul yang nyantai sambil menikmati lalulalang kendaraan di malam hari kawasan benteng vrenderburg yogyakarta, disana kita bisa menikmati malam, sambil di iringi oleh musisi-musisi jalanan yang mayoritas membawakan lagu-lagu beraliran reggae. di sini sering di jadikan ajang kumpul-kumpul komunitas musik, club-club motor, club-club sepeda onthel sampai para turis-turis yang sekedar menghabiskan malam di yogyakarta,

jadi jangan berangapan kehidupan malam selalu bersifat negatif, dan pemborosan, di sini kita tinggal pilih mana yang bagus dan benar, semua ada pada diri kita sendiri...